Instagram : @devitnask
| books | everything abt literature

services & rates

  • insta stories : IDR 200K-600K 50K-150K

  • feeds / reels : close (x)

repost feeds ke igs :

  • Khusus Penerbit IDR 25K

  • Khusus Personal IDR 5K-15K

(personal note: khusus buat penulis AU yang mau ceritanya direpost dan makin banyak yang tau)

TikTok : @devitnask
| books | everything abt literature

services & rates

1x VT : IDR 300K-600K 50K-100K

  • rekomendasi konsep konten seperti contoh di atas + hook

  • konten sesuai brief (pakai script, dibantu konsep, atau video yang sudah ada)

WhatsApp Channel : NSPACESSS
| random | asal bukan slot!!

services & rates

  • 1x promote : IDR 10K 5K

contact adm : +62 889-8059-2334


“Cowoknya toxic, pemain, redflag? Imbangi lah!
Tapi pertanyaannya satu, emang sanggup?”
Menceritakan tentang hubungan dua orang yang pada awalnya sangat manis, mereka sama-sama merasakan butterfly era dan excited satu sama lain. Namun, di perjalanannya, mereka juga menemukan kehampaan sampai hubungan mereka berubah toxic dan tidak sehat. Di saat itu, hanya ada dua pilihan. Bertahan dan terus saling menyakiti, atau melepas dengan penuh rasa sakit. Lalu, apa yang akan Kairo dan Nayesha pilih?


Bogor tahun 2010 menyimpan banyak trauma untukku. Semua kenangan buruk di masa itu masih terekam jelas di kepalaku. Seperti apa mata Papa yang selalu pulang di sepertiga malam dalam keadaan mabuk, juga amarah Mama yang kerap kali meluap saat menghadapi amukan Papa yang tak kenal waktu.Oh, tidak cukup sampai di situ.Keesokan harinya pun, mereka masih melanjutkan perdebatan panjang semalam. Bahkan tanpa peduli posisi anak-anak yang hanya bisa berlindung di dalam almari usang, ketika piring dan gelas mulai melayang ke dinding.Aku masih ingat suara tangis Aa Moe saat mendekapku di sela-sela baju lusuh Mama yang menggantung di almari.Aku juga masih ingat getaran tubuhnya saat mencoba melindungiku dari tarikan kasar Papa, yang berujung lebam membiru di sekujur tubuhnya karena menjadi pelampiasan amarah Papa.Mungkin aku masih terlalu kecil untuk memahami situasi tersebut, namun anak usia tujuh tahun pun akan tahu jika bentakan-bentakan kasar dan pukulan-pukulan keras itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi di dalam keluarga.Lalu setiap kali aku menangis, Mama selalu membawaku pergi dari rumah. Derasnya hujan, aroma tanah yang basah, juga suhu dingin yang menusuk tulang karena tipisnya baju yang kukenakan, menjadi saksi bisu perjuangan Mama yang terus berlari tak tentu arah.Sekali lagi, mungkin saat itu aku tidak tahu seperti apa situasinya. Hanya saja, Mama selalu berdiri di tengah jembatan dan melamun menatap genangan air di bawah sana.Bahkan ketika hujan lebat mengguyur pun, Mama selalu diam dan membiarkan setiap tetesnya menyelimuti kami.Aku juga ingat, di bawah lampu kuning jalanan saat itu Mama tersenyum padaku dengan mata memerah. Seolah sedang menyemangatiku, seolah sedang menenangkanku, seolah sedang mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.Padahal, mata sembab dengan noda biru seperti darah menggumpal di pelipis dan tubuh penuh lukanya, merupakan bukti bahwa Mama pun tidak yakin pada dirinya sendiri.“Kalau nanti kita jatuh, Naye tahan nafas bentar ... bisa, kan?”Kalimat itu membuatku ikut menangis di tengah petir yang menyambar. Lantas, Mama pun mulai mendekapku kuat-kuat.“Maaf. Maafin Mama, Nayesha. Seharusnya kamu jangan jadi anak Mama,” katanya yang masih kuingat jelas sampai saat ini.Mama menciumku berkali-kali dan kalimat maafnya juga terus terlantun. Sampai akhirnya, Mama tidak bisa bersuara lagi karena terlalu sesak dengan tangisnya.Setelah aku beranjak remaja, aku mulai menyadari jika saat itu Mama sangat ingin mengakhiri hidupnya.Namun, kehadiran Aa Moe yang baru berusia sebelas tahun berhasil meruntuhkan egonya.Di saat Mama berada di titik terendahnya, Aa Moe berlari menerjang badai sambil mendekap payung barbie milikku.Sesampainya di samping Mama yang malam itu masih menggendongku, Aa Moe menyodorkan payung yang terlipat asal-asalan dan menggandeng tangan Mama.“Jangan tinggalin Aamor sendirian sama Papa lagi ya, Ma.” Ucapan Aa Moe yang kuingat. “Aamor takut sama Papa.”Kalimat sederhana Aa Moe itu membuat isak tangis Mama kian menggebu. Setelah itu, Mama mulai menurunkanku dari gendongannya dan merengkuh kami ke dalam dekapannya sambil mengucapkan kata maaf tiada henti ... penuh sesal.Dua tahun setelah itu, Papa menghilang. Frekuensi kepulangannya semakin menipis dan tanpa kusadari figur Papa pun kosong dalam waktu yang lama.Entah sudah meninggal atau mungkin melarikan diri, aku tidak peduli. Kehidupan kami jauh lebih baik pasca kepergiannya.Hingga lima tahun kemudian, Mama dipertemukan dengan sosok yang menyempurnakan hidupnya.
Ayah Roman.
Dia Ayah tiri, tetapi selalu menyayangiku dan Aa Moe seperti darah dagingnya sendiri. Pekerja keras, sayang keluarga, pecinta hewan, tutur katanya lembut, selalu sabar menghadapi setiap amarah Mama, tetapi juga tegas dan mengayomi.Beliau adalah Roman Mahantara.
Sengaja aku perkenalkan pertama kali karena beliau adalah orang favoritku nomor satu.
Alasannya?Sederhana saja, Ayah Roman berhasil menumbuhkan bunga di sela-sela retaknya kehidupan Mama. Bahkan, retakan-retakan kecil itu mungkin sekarang sudah menjadi taman bunga yang begitu luas dan indah seperti Keukenhof Garden.Bersama Ayah Roman, mata Mama tidak hanya digunakan untuk memproduksi air mata, tetapi juga untuk melihat hal-hal luar biasa di berbagai belahan dunia yang sebelumnya tidak pernah beliau bayangkan.Bersama Ayah Roman, bibir Mama juga lebih banyak tersenyum alih-alih terisak seperti saat bersama Papa.Dan bersama Ayah Roman, tubuh Mama selalu dimanjakan dan dirawat dengan baik. Bahkan, Ayah Roman selalu mengajak Mama untuk cek kesehatan setiap tahunnya.Beliau adalah kado terbaik yang dikirimkan Tuhan, setelah tangis berdarah-darah yang Mama lalui selama bertahun-tahun.Ayah Roman tahu film kesukaan Mama, tahu makanan favorit Mama, tahu jika Mama tidak suka hujan, bahkan hal-hal sesederhana seperti bungkus permen yang biasa aku dan Aa Moe buang di pot bunga kesayangan Mama pun tidak pernah luput dari penjagaannya.Ayah Roman sangat mengerti bagaimana cara memperlakukan seorang wanita, sangat paham bagaimana cara menjadi Ayah yang baik, dan sangat pandai bagaimana cara menjadi pemimpin keluarga yang saling mendukung dan penuh cinta di setiap detiknya.Beliau adalah sosok yang membuatku berpikir:“Ah, I need to find someone like him.”

“Dek, sayurnya jangan lupa dimakan. Mama kan masak ini buat kamu.” Mama memperingatiku untuk yang kedua kalinya karena aku sering tidak mengindahkan permintaannya.Wanita cantik khas Jawa-Sunda yang sedang menyendok sayur di atas meja makan itu adalah Danisa Arabella, Mama terhebat di dunia yang aku miliki.Jangan berpikir beliau adalah orang favoritku nomor dua karena baru aku perkenalkan setelah Ayah.Buatku, Mama tetap menjadi orang favoritku nomor satu. Hanya saja, kategorinya berbeda dari Ayah. Hehee.“Mama! Nggak mau ih! Nggak enak!” rengekku ketika Mama menuangkan sayuran ke piringku.
“Naye, kamu itu anemia, harus banyak makan sayur. Nanti kalau sakit lagi gimana? Mama nggak mau merawat kamu!” ancam Mama agar aku mau makan sayur.
“Ayah aku kan Dokter, kalau sakit ya tinggal panggil Ayah lah.” Aku menjulurkan lidah, sedikit menyepelekan perhatian-perhatian sederhana dari Mama.Maaf, tapi aku benar-benar anti sayur.Kalau matcha, itu beda cerita lagi.Aku memindahkan sayur pemberian Mama ke piring Aa Moe. Hal itu membuat mata belo Aa Moe menyipit, tetapi dia tidak memprotes dan menerimanya begitu saja.Mungkin, karena sudah terbiasa dengan tingkah adiknya.
Oh iya, cowok berambut ikal yang hidungnya menjulang kaya bule ini namanya Aamor Garcia.
Kakak satu-satunya yang aku miliki.Pembawaannya tenang, penyabar, kalem, tapi terkadang selalu mengingatkanku pada Papa karena wajahnya sangat mirip. Beruntung, sifat buruknya tidak menurun.“Huh,” Aa Moe menghela napas.
Tak lama kemudian, dia berdiri untuk menahan rahangku dan mulai menyuapiku sayur masakan Mama.
“Oabwangggk moonywettt!” jeritku.Ralat.Aa Moe sama sekali tidak kalem, dia adalah abang paling menyebalkan sedunia. Mungkin, bibirnya memang kalem. Tetapi, aksinya jauh lebih mematikan.
Atraksi Aa Moe membuat Ayah dan Mama tertawa.
Sial, ini namanya KDKA alias Kekerasan Dalam Kakak Adik. Ini harusnya kita lapor ke kepolisian, atau lembaga perlindungan perempuan dan anak, atau call center SAPA 129 nggak sih?Aku menepuk-nepuk tangan berotot—hasil Aa Moe nge-GYM selama 4 tahun—itu sampai dia berhenti menyuapiku.“Balik ke Jakarta aja sana!” seruku kesal.“Bilik ki Jikirti iji sini!” Aa Moe mengejek.“Augh!” Aku mencakar udara ke arah wajah Aa Moe.“Sudah-sudah, dihabiskan dulu masakan Mama. Nanti kalau sudah selesai, bantu Mama beberes, baru dilanjut berantemnya.” Ayah menengahi, tapi rasanya seperti sedang mendukung Aa Moe.Ini ceritanya lagi men support men, kah?Walaupun tidak terima, aku tetap tersenyum.“Siap Ayah.” Ucapku dengan nada suara seperti anak kecil.Entah mengapa, Ayah selalu berhasil membangunkan sisi manja dan inner child-ku.Mungkin, karena aku terbiasa dimanja?Atau lebih tepatnya, aku rindu peran ayah?“Liat, Ma. Dia kalau sama Ayah langsung kaya ager-ager.” Aa Moe memprotes, membuat perdebatan kami semakin sengit.Singkat cerita...Aku mau memperkenalkan diri dulu sebelum aku lupa.Namaku Naye, Nayesha Garcia.Garcia diambil dari nama belakang Papa.Walaupun aku sangat membencinya karena perlakuannya terhadap kami yang semena-mena dan sangat menyakitkan itu, semuanya sedikit termaafkan karena gen bulenya menurun padaku. Ya, walaupun aku tidak se-bule Aa Moe, tapi setidaknya aku punya hidung mancung dan alis tebal.Maaf, flexing dikit.Mungkin karena traumaku dan ketakutanku bertemu laki-laki seperti Papa dan keinginanku untuk mencari laki-laki seperti Ayah, membuatku kesulitan dalam bab percintaan.Pasalnya, selera cowokku menjadi melejit tanpa tahu diri. Ditambah dengan novel-novel dan film-film romansa yang membuatku semakin berimajinasi tentang ‘Cowok Fiksi Idaman’ membuatku semakin menyeleksi cowok-cowok di sekitarku.Padahal kan, mereka juga ditulis oleh cewek. Hal yang tampaknya cukup mustahil untuk ada wujudnya di bumi ini.Di tengah gempuran teman-temanku yang keluar setiap malam minggu atau memiliki agenda di hari-hari khusus seperti Hari Valentine, aku justru terjebak di kamar dengan segudang soal-soal dan materi.Pikirku...Mungkin kalau nggak beruntung di percintaan,aku beruntung di pendidikan.WRONG!Di pendidikan pun, ternyata aku kalah.Di usiaku yang ke 18 tahun, aku harus menerima penolakan dari kampus impianku: Universitas Gadjah Mada atau yang biasa orang-orang sebut UGM.Karena itu penolakan pertamaku dari satu-satunya kampus yang aku daftar, aku sampai mengurung diri di kamar selama satu minggu penuh. Ya habisnya, bisa-bisanya aku sepercaya-diri itu bakalan masuk UGM.Memang benar kata orang-orang, hal yang paling pandai mengecewakan adalah ekspektasi diri sendiri.Sampai akhirnya, aku memilih untuk gap year.Psikologi – UGM
Akan selalu aku usahakan sampai aku berhasil.
Em, kalau ditanya: “Kenapa Psikologi?”Simpelnya saja, aku ingin membantu orang-orang seperti Mama dan mengurangi perilaku buruk seperti apa yang Papa lakukan pada Mama, aku, dan Aa Moe.Karena aku tidak suka belajar hukum dan setiap debat selalu menangis, aku memilih menjadi Psikolog untuk membantu banyak orang dari segi emosional.Maksudku, menjadi polisi, pengacara, jaksa, atau hakim seperti cita-cita Aa Moe sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku.Aku bukan tipikal orang yang senang berdebat, tidak tegas, tidak memiliki jiwa kepemimpinan, dan aku tidak yakin bisa membantu orang-orang seperti Mama dan Papa di luar sana dengan jalur hukum seperti Aa Moe.Karena itu, sejak aku masuk SMA, Psikologi sudah aku nobatkan menjadi jalan ninjaku.Lalu, mengapa harus UGM?Singkatnya saja, aku ingin tinggal di Jogja.Kata orang-orang, you know ... Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai Jogja, kota itu sudah terpatri indah di dalam benak orang-orang.Sayangnya, tidak dengan penghuninya.Eh, bukan begitu maksudku.Orang Jogja ramah kok.Hanya saja, aku pernah mendengar kalau cowok Jogja itu suka ‘menyakiti’.Hahahaa, baiklah itu semua hanya mitos.Tapi, tujuanku ke Jogja itu untuk jatuh cinta pada kotanya, bukan pada orangnya.Mungkin.Di sela-sela gap year-ku, Ayah tidak pernah absen untuk memastikan aku belajar setiap hari.Katanya, kita harus tumbuh setiap hari meski hanya 1%. Setidaknya, harus lebih baik dari yang kemarin.Karena kegigihan Ayah dan support dari Mama, akhirnya aku berhasil masuk UGM, tentu saja Prodi Psikologi.Semester pertama kuliah, aku melaluinya dengan penuh tangis. Selain karena anak semanja dan secengeng ini harus bertarung hidup sendiri di perantauan, juga karena sering dibentak Kakak Tingkat dan parahnya lagi nggak punya teman.Semester kedua kuliah, aku mulai mencintai Jogja dan akhirnya memiliki satu teman dekat. Fara namanya, R.R. Fara Anggreani. Dia cantik, wajahnya khas mbak-mbak Jogja banget. Di namanya saja ada RR-nya, Raden Rara, gelar kebangsawanan Jawa yang biasa digunakan untuk perempuan, kalau kata google.Dia tipe cewek pengguna bedak ivory, baju warna apa saja cocok di kulitnya, rambutnya lurus tanpa harus dicatok dan cukup hitam sampai terlihat silau ketika di bawah matahari.Bersama Fara, aku banyak mengunjungi tempat-tempat indah di Jogja. Segala pantai, tempat wisata, kafe hingga hidden gem pernah aku sambangi dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan.Cewek cerewet ini juga yang membuatku semakin jatuh cinta dengan segala seluk beluk Daerah Istimewa Yogyakarta.Menjelang semester ketiga kuliah, aku sudah berani keluar sendiri. Mengerjakan tugas di kafe tanpa teman satu pun, sudah bukan menjadi hal yang menakutkan untukku.Lalu, saat itu lah aku bertemu dengan seseorang.Seseorang yang membuatku berpikir:“Maybe, he’s the one?”

Yogyakarta tahun 2024 menyimpan banyak kejutan untukku.Salah satunya, bertemu dengan manusia random di kafe yang perlahan membuat hari-hariku mulai terasa lebih hidup.Akan sedikit kuceritakan tentang awal mula kami bertemu.Saat itu, aku sedang pusing menyusun penelitianku untuk studi kasus. Aku harus mendapatkan data, tetapi aku tidak punya teman untuk membantuku mengisi kuesioner yang sudah kususun di google form. Bahkan, sudah kusebar di sosial media pun tidak ada yang mengisi.Di saat-saat seperti ini lah aku ingin pindah profesi menjadi selebgram.Eh, selebgram itu juga termasuk profesi, kan? Menurutku, hal apa pun itu selagi menghasilkan uang akan selalu kusebut sebagai profesi.Aku menangkup wajah ke atas meja dengan kening menumpu pada telapak tangan.Sekelebat pikiran untuk memanipulasi data pun terlintas di kepala. Toh, mereka juga tidak akan memeriksa ini data sungguhan atau bukan, kan?Argh! Tapi masa gitu, Nay? Batinku memprotes.Kalau mengerjakan tugas saja manipulasi, besok waktu terjun ke masyarakat mau jadi apa?Koruptor? Absolutely not!Tok! Tok!Seseorang mengetuk meja dua kali, membuatku refleks mengangkat kepalaku.Meski posisi cowok itu berdiri dan sedikit membungkuk, aku harus mendongak karena postur tubuhnya yang tinggi. Terlebih lagi, posisiku masih membungkuk dengan dada menyandar pada meja.Kedua mata kami bertemu selama dua detik, lalu aku mulai merasakan sengatan aneh.Ini mustahil.Kami baru pertama kali bertemu, tetapi aku merasa cukup familier sekaligus juga asing.Apa ini tanda-tanda dia punya red string yang tersambung dengan benang milikku yang singkatnya saja disebut ... JODOH?What?Halu banget sih!“... nggak?”“Huh?” Aku terus bertengkar dengan isi kepala sendiri, sampai tidak mendengarkan.“Stop kontaknya boleh gantian nggak?” Dia kembali mengulang pertanyaannya.“Huh?” Aku menegakkan tubuhku. “Iya, boleh.”“Ini boleh gue lepas?” tanyanya lagi sambil menunjuk charger-ku yang masih menempel pada stop kontak.“Oh,” Aku melepas charger-ku.“Thanks ya.”Aku mengangguk sebagai respons alami.Kutatap meja sharing panjang yang berada di tengah ruangan ini. Bentuknya sangat panjang dengan sekat kayu dan stop kontak di tengah meja.Setidaknya, cukup untuk dua puluh orang dengan sepuluh bangku berhadapan yang masing-masing sudah dilengkap dengan stop kontak.Hanya ada dua belas orang yang duduk di sini, jadi masih banyak bangku dan stop kontak lain yang kosong. Tapi kenapa dia meminta stop kontak di mejaku?Cowok dengan alis tebal dan bulu mata lentik alami itu meletakkan doppio di atas meja yang berada di hadapanku.Dia menarik kursi dan duduk berhadapan denganku, lantas membuka macbook yang sudah tersambung dengan charger.Ini meja sharing, di mana banyak orang duduk berhadapan dan berdampingan. Tetapi, kenapa aku merasa kami sedang duduk berdua saja?Rasanya sangat dekat, padahal di tengah kami ada sekat kayu dengan stop kontak dan pot mini sebagai hiasan.Ah, kenapa aku tidak bisa berhenti menatapnya? Aku mencoba fokus menatap layar laptopku, tetapi parasnya yang cukup unreal selalu sukses menyita atensiku.“Ekhem,” Dia berdeham.Bahkan, dari dehamannya saja terdengar cakep banget.Astaga! Kenapa aku jadi salah tingkah sendiri? Nayesha! Sadar! Aku meneguk matcha latte beberapa kali untuk meredam ke-salting-anku.Baru kali ini aku salting deketan sama cowok.Aku dapat mendengar ketikan keyboard-nya yang sangat cepat, juga wajah sempurnanya yang sedikit biru karena pancaran cahaya dari layar macbook.Di kacamatanya terlihat deretan coding yang memantul tidak terlalu jelas. Seperti sedang melakukan pemrograman?Entah lah, aku tidak terlalu pandai akan hal itu.Pada detik ke sepuluh aku mengamatinya, suara ketikan tadi berhenti. Cowok dengan comma hair itu bersuara. “Lo belum punya pacar, kan? Kalau belum, besok jalan sama gue ya?”Apa dia bilang? Aku yang sedang menyeruput matcha latte-ku sampai hampir tersedak dibuatnya.Kepalanya terangkat menatap wajahku yang hampir sejajar, meski sebetulnya masih tinggian dia banget. Mataku juga terbelalak lebar saat arah pandang kami saling mengunci.Cowok yang masih belum kutahu namanya itu tersenyum.Smirk.Tapi, manis. Manis banget.“W-wa-what? I’m not sure—”I’m just messing with you,” Dia meluruskan, tersenyum lagi.Suaranya juga berat-berat adem candu gitu.Ih, kan! Aku jadi nggak bisa fokus.Lagian siapa juga yang bikin candaan dengan ekspresi seserius dan seganteng itu?“Lo kan Anak Psikologi, masa bedain mana yang serius sama becanda aja nggak bisa?” sambungnya.“Ya kan masih di tahap belajar, lo pikir semua orang yang baru belajar itu langsung bisa jadi expert-nya?” Aku mendadak tercengang. “Eh, tau dari mana kalau gue Anak Psikologi?”Dia menunjuk buku-buku tebal di samping laptopku, memang benar itu buku-buku materi kuliahku.“Dengan lo duduk di sini sama tumpukan buku tebel,”—Dia menggerakkan tangan seperti sedang scan wajah—“Dan ekspresi lemes kaya gitu aja udah ngasih tau ke semua orang kalau lo Anak Psikologi.”“Ch, lo yang terlalu observasi kali.”“Mungkin.”Dia tersenyum. Gila!Dia tersenyum lagi dan kali ini lebih lebar dari sebelumnya.“Lo punya aura yang menarik soalnya,” imbuhnya.Kok tiba-tiba perut aku geli ya?Padahal nggak ada kupu-kupunya, tapi rasanya kaya ada yang melayang-layang di sana.Tiba-tiba, mood-ku jadi bagus gitu.Bibir aku juga senyum terus, sampai harus aku tahan-tahan biar nggak malu karena terlalu kentara.Ini gejala apa ya?Gejala love at first sight, kah?

Makeup Fav Itna💄
click picture for order!

Always Series

DEVITNA-PAGESSS

WhatsApp Channel : NSPACESSS
| random | asal bukan slot!!

services & rates

  • 1x promote : IDR 10K

  • 1x pesan : IDR 10K

  • 1x foto + pesan : IDR 25K

  • 1x video : IDR 50K

  • 1x vn review/anything : 75K

FullChat; DreamLast Series